Saturday, March 8, 2014

Binnenalster, oh Binnenalster

Hey, hi, hello! Terus ya, dengan indahnya baru inget ini blog sudah gak tersentuh tiga bulan. Jadi tampaknya sekarang saatnya untuk mulai meng-update dikit-dikit tentang the missing three months ini, no?

Bukanlah suatu exaggeration kalau berkata bahwa "The first 3 months is hell." Ekspektasi tentang tiga bulan pertama ini memang sudah kayak mimpi buruk di bayangan saya, tapi sensasi menjalani secara benar-benar dan cuman membayangkan jelas-jelas beda, ya. Rasanya itu masa-masa yang paling bikin frustrasi (sekarang masih suka frustrasi sendiri tapi udah mendingan. Kayaknya.) entah karena faktor sekolah, bahasa, teman, anu, ono, ini; an emotional and physical roller coaster ride, lah.

Makanya waktu itu (sampai sekarang sih sebenarnya) saya sering keluar rumah untuk mencari personal solitude #elah. Ibarat handphone dan baterenya, kalau 'batere' saya mau habis, saya harus recharge dulu ke suatu tempat yang bikin saya tenang dan di mana saya bisa berdiam diri sendirian di sana. Kalau nggak, rasanya jadi susah berfungsi karena pikiran acak-adul—dan di metafora ini jadi kayak handphone nge-lag parah menjelang batere tinggal 5%, hahah. And what better place to do that than the Binnenalster lake?

Siang-menjelang-sore. Suramnya itu charm tersendiri, imo. Hahah.



Well, mungkin ini personal choice aja, sih, tapi saya sukaaaa banget duduk di depan Binnenalster, yaitu adalah danau buatan yang nyambung ke danau Alster yang besar. Kayaknya banyak orang sampe capek denger saya ngomongin danau yang satu ini karena udah kayak ngomongin cowok ganteng. Walaupun rada mainstream karena sudah jadi tempat hangout (dan mabok lol) banyak orang, tapi pemandangannya menurut saya yang paling juara di satu Hamburg. Apalagi kalau malam hari karena pantulan cahaya dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Waaaa, betah deh duduk di sana walaupun saat itu lagi 5 derajat di luar.

Coca-cola vanilla dan jeruk alias sahabat galau #bukan

Di sana pun aktifitas yang saya lakukan beragam. Dari cuman duduk diem dan biarin pikiran loncat-loncat sampai jadi tenang sendiri, dengerin musik, baca buku (sudah ada beberapa buku yang saya hampir-selesaikan/selesaikan di depan danau ini hahah), mini-picnic dadakan (yang biasanya cuman ditemani roti atau jeruk plus air putih/coca-cola vanilla), merhatiin orang lalu-lalang dan kadang dengerin omongan mereka (gak nguping juga sih itungannya, wong mereka ngomong tepat di sebelah saya dengan suara kenceng), banyak juga.

Dan di sini saya menyadari betapa enaknya duduk diem di tempat terbuka, menghirup udara segar, dan... ya, duduk aja. Secara di Jakarta tempat terdekat dan termirip yang saya bisa pakai untuk melakukan ini hanyalah atap rumah. Itu pun kalau jalur ke atap lagi dibuka sama ayah dengan tangga yang tinggi dan udaranya jauh banget dari segar-nya Hamburg. Pemandangan juga beda, dan hal-hal yang bisa dirasakan juga beda. Sekarang ngerti deh kenapa banyak adegan begini di manga dan/atau anime, karena emang... apa, ya. Enak banget perasaannya.

Dengan duduk diem itu, kita jadi bisa melihat dan merhatiin apa yang sebelumnya nggak terlintas di pikiran kita. Berkali-kali saya dapat ilham (asik), dapat jawaban soal di pr sekolah, atau cuman tiba-tiba ingat tentang sesuatu dan bikin mikir lama.

Contohnya beberapa hari yang lalu, malam hari saya mau motret ke kota dan akhirnya duduk dulu di depan si danau tercinta. Lihat ke depan langsung ada kereta lalu-lalang, dan saya baru sadar pasti ada kereta yang lewat tiap 5 menit. Selalu 5 menit, nggak pake ngaret nggak pake terlalu cepet, pasti tiap 5 menit. Saya telusuri lagi dengan ilmu 'Cara Menjadi Hamburger (as in resident kota Hamburg, bukan makanannya)' dan sadar bahwa kereta-kereta itu menuju dan/atau datang dari Hauptbahnhof alias central station alias stasiun kereta pusat Hamburg.

Terus, banyak hal yang tiba-tiba muncul di kepala:
a.) Transportasi Jerman itu relatif tepat waktu, apalagi kalau sudah menyangkut kereta
b.) Hauptbahnhof rame juga ya ternyata sampai tiap 5 menit ada kereta masuk/keluar. Sudah tiga bulanan tinggal di sini saya jadi biasa aja sama keramaian dan lautan manusia di dalam stasiunnya, tapi kalau melihat dari sudut pandang ini, arti 'ramai' itu entah kenapa jadi beda.
c.) Dan karena itu, saya pun sadar kenapa kalau tiap mau pergi ke Hauptbahnhof, S-bahn-nya suka melambat dulu karena gantian. Gak cuman ramai manusia, tapi ramai kereta, sampai akhirnya (mungkin) sistem tiap-5-menit-ada-kereta-masuk-atau-keluar itu harus dilakukan. Kalau nggak ya tabrakan beruntun lah itu di stasiun.

...daaaan masih banyak lagi.

Binnenalster setengah beku; yang mengajarkan saya kalau setengah beku aja udah cantik, gimana kalau beku semua.

Terdengarnya berat karena kebanyakan pikiran, tapi buat saya ini semacam distraksi sekaligus untuk menata kembali pikiran yang amburadul ini. Makanya tiap saya pulang dari tempat ini, rasanya hati plong dan pikiran jadi makin tenang. Kembali melakukan aktifitas sehari-hari juga rasanya jadi lebih enak. Karena itu pula kayak yang tadi saya bilang, se-mainstream apapun tempat ini dan seberapa banyak pun pengalaman aneh-aneh yang saya alami di tempat ini, saya cinta banget sama Binnenalster sobs. Dan saya yakin banget saat pulang nanti, dia akan jadi salah satu hal yang paling saya kangenin dari Hamburg.

No comments:

Post a Comment