Cuman.... saya menemukan kalau sebelum jam 12 siang perut saya akan berulah jika mengkonsumsi susu. Bisa mules sampai siang. Gara-gara itu Target sehari paling tidak minum susu satu gelas jadi hancur karena sistem pencernaan saya yang mendadak masuk ke tahap rebellious bak seorang remaja baru puber. Ooh, gak bisa dibiarkan. Makanya saya berniat untuk mencari alternatif lain yang bisa menggantikannya.
Nyoba susu merek lain, tetap saja sakit perut. Susu bubuk, masih juga. Susu yogurt, wah makin berulah. Akhirnya beberapa minggu yang lalu, ibu saya menawarkan Milo—walaupun itu semacam setengah coklat dan setengah susu.
....uhh iya bukan, sih?
Yah, pokoknya ibu saya menawarkan itu dan karena saya desperate untuk mendapat asupan kalsium agar bisa jadi lebih tinggi, saya pun memutuskan untuk mengambil Milo bubuk 1 kilogram yang, katanya, paket ekonomis (ya iya sih sebenarnya karena rasanya bakal cukup untuk sebulan lebih) dan menaruhnya di trolley belanja keluarga saya.
Dengan diambilnya bungkus Milo itu oleh si kasir untuk di-scan dan kemudian dibayar oleh ibu saya beserta belanjaan lainnya, saya bertekad untuk minum setiap hari agar lebih sehat dan... ya, itu. Lebih tinggi. Secara saya termasuk pendek kalau ngelirik teman-teman saya yang lain, lama-lama muncul juga itu height complex, atau bahasa kerenya, Napoleon complex. Hahah. Makanya saya agak sensi kalau udah bawa-bawa tinggi badan. Ini saja nulisnya agak gimanaaa gitu ya; sambil meratapi nasib dan kemungkinan-kemungkinan kenapa saya sulit bertambah tinggi, entah mungkin karena faktor genetik atau faktor saya semi-hikikomori dari kecil sehingga jarang olahraga.
Lalu ketika sampai rumah dan bungkus Milo itu ditaruh di sebelah bungkus Milo punya adek, saya juga bertekad untuk lebih aktif lagi. Janji saya mau lari sore (...) sempat putus karena saya kembali mager lagi, tapi kali ini harus berubah. Kalaupun saya nggak mood lari, paling nggak skipping rope yang sudah dibelikan ayah saya bisa dipakai walaupun hanya 5 menit sehari. Bola basket pun sebenarnya ada, tapi secara saya nggak punya hoop dan satu-satunya lapangan—in this case, half-court—yang kosong melompong pada jam 4 sore seterusnya adalah punya tetangga, saya agak canggung pakainya.
Namun itu semua berubah ketika
Awalnya tentu pengganti susu dan/atau kopi di pagi hari, tapi saya menemukan bahwa Milo panas lebih enak daripada keduanya. Saat malam tidak bisa tidur, bikin lagi Milo untuk menemani petualangan saya di dunia internet sambil menunggu kantuk datang. Wah, enak juga. Sudah itu bisa divariasikan sesuai selera saat itu—maksudnya, mau dingin atau panas ya terserah kita. Enak, euy. Udah gitu kalau si bungkusnya gak boong, Milo itu bervitamin dan kalsiumnya tinggi. Termotivasi dari itu, mulailah saya membentuk (lagi, untuk kesekian kalinya) kebiasaan berolahraga.
Awalnya sih ringan-ringan saja; stretching setiap hari agar lebih lentur (sedikit), menambah durasi latihan drum dan gitar (mereka nguras tenaga, oke. Apalagi kalau drum saya juga latihan pake dobel pedal), terus lama-lama di-upgrade ke sesi lompat tali dan membajak half court milik tetangga itu.
Rupanya si tetangga nggak keberatan kalau ada anak komplek yang pake, tapi karena saya juga nggak enak sama mereka ya nggak tiap hari juga saya main ke sana. Cuman jadinya, saya semacam dicap anak forever alone karena kalau main pasti sendirian terus. Kalau pacar saya pemain basket mungkin bisa main berdua gitu ya walaupun jelas-jelas saya bakal di pwned abis sama dia #Asa #bukansaatnyamimpi
Yah, syukurlah hal ini berlangsung cukup lama. Mungkin gara-gara dapet motivasi dari 'Milo itu katanya berkalsium tinggi = kalsium buat tulang = tulang makin kuat dan tumbuh besar = resiko osteoporosis berkurang dan uuuyeah bisa tambah tinggi = tapi butuh olahraga juga, oi' jadi begini. Semoga sih lanjut sampai lama, ya, karena sejujurnya saya merasa badan lebih enak kalau habis olahraga setengah jam daripada duduk seharian di depan laptop dan nge-browsing anu itu #yudonsey
mantap gan....
ReplyDelete